23 Juli 2011

Islam Dan Kaidah Menjaga Diri


Rendahnya tingkat kewaspadaan diri seorang muslimah, bisa jadi dikarenakan ia telah merasa cukup aman berlindung di balik hijab yang dikenakannya, padahal sejarah telah membuktikan bahwa kejahatan terhadap diri seorang muslimah pun telah terjadi sejak masa Rasulullah SAW. Penekanan mengenai penjagaan ini tidak hanya terdapat dalam nash-nash Al-Qur’an, namun juga hadits-hadits Rasulullah SAW. Dalam berbagai riwayat kisah shahabat dan shahabiyah Nabi pun banyak dikisahkan mengenai kasus-kasus kejahatan yang menimpa para muslimah di masa silam, antara lain :

1) Perkosaan

Wail Al Kindi mengatakan, “Bahwa seorang muslimah telah diperkosa oleh seorang laki-laki pada kegelapan shubuh ketika ia hendak ke masjid. Muslimah itu meminta tolong kepada seorang laki-laki yang kebetulan lewat. Karena takut ketahuan, lelaki pemerkosa itu kabur melarikan diri. Sesaat kemudian, lewat pula sekelompok orang, muslimah itu pun meminta tolong kepada mereka. Orang-orang itu memergoki laki-laki penolong di tempat kejadian, sementara pelaku yang sebenarnya telah melarikan diri. Mereka menghadapkan lelaki penolong itu kepada muslimah yang diperkosa. Penolong itu berkata, “Aku hanya menolongmu, pelaku yang sebenarnya sudah melarikan diri.“ Lalu mereka menghadapkan pelaku sebenarnya (setelah dilakukan pengejaran) kepada Rasulllah.” (HR. Ahmad)

2) Penganiayaan

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, katanya, “Sesungguhnya ada dua orang muslimah dari Bani Huzail. Salah satu dari mereka memukul yang lain, sehingga menyebabkan janinnya keguguran. Maka Nabi SAW memutuskan kepada muslimah yang memukul itu untuk membayar diyat berupa seorag hamba sahaya lelaki atau perempuan.“ (HR. Bukhari)

3) Pelecehan

Ibnu Mas’ud berkata, “Seorang laki-laki telah mencium seorang muslimah. Lalu ia datang kepada Rasulullah memeberitahukan kejadiannya.“ (HR. Bukhari dan Muslim)

Munculnya berbagai kasus tersebut sebenarnya sudah diantisipasi dalam Al Qur’an dengan diturunkannya ayat-ayat mengenai perintah kesiap-siagaan dan perilaku preventif yang bisa dilakukan oleh setiap muslimah. Berbagai kasus dalam bentuk yang kurang lebih sama pun semakin marak terjadi di sekitar kita, dan muslimah adalah korban sasarannya. Pada era reformasi kita pernah dikejutkan oleh terbunuhnya Santi Sofarina yang dianiaya sekelompok penjahat bernuansa politik, juga baru-baru ini kita pun mendengar pembunuhan santri Aa’ Gym yang dibunuh setelah dirampas hartanya. Contoh tersebut hanya sekelumit kecil kejahatan yang terungkap, karena kebanyakan muslimah biasanya enggan untuk menceritakan kejadian buruk yang pernah dialaminya.

Referensi pustaka mengenai usaha-usaha pembelaan diri ini memang tidak terlalu mudah kita dapatkan, terlebih yang benar-benar diperuntukkan bagi seorang muslimah. Akan tetapi hal tersebut sebenarnya bisa dilakukan dengan kembali mencermati ayat-ayat dalam Al Qur’an serta berbagai hadits Rasulullah yang banyak berbicara tentang hal tersebut. Belajar dari kekayaan umat Islam yang sudah diwariskan oleh Allah dan Rasulnya adalah referensi pustaka yang terbaik.

Begitu pentingnya arti mempertahankan diri-baik jiwa maupun kehormatan-bagi seorang muslimah, sampai-sampai akan kita jupai banyak firman Allah SWT dalam Al QurĂ¡n yang menekankan dan memberikan peringatan mengenai masalah ini. Beberapa ayat-ayat dalam kalamullah yang menyiratkan tentang peringatan dan kewajiban menyiagakan diri bagi seorang muslimah, antara lain :

“Wahai orang-orang yang beriman, bersiap-siagalah kamu...” (An-Nisa : 71)

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka, kekuatan apa saja yang kamu sanggupi...(Al-Anfal : 60

“…dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak darinya.” (An-Nur : 31)

“…maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.“ (Al-Ahzab : 32)

“ ...dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dulu...“ (Al-Ahzab : 33)

Ayat-ayat yang tersebut di atas merupakan perintah tiap muslim untuk senantiasa menjaga kesiap-siagaan dirinya dalam menghadapi kondisi terburuk yang mungkin saja terjadi, juga merupakan peringatan bagi para muslimah agar selalu memperhatikan setiap perilaku yang mungkin mendatangkan bahaya. Peringatan yang tersirat dalam ayat-ayat di atas bukanlah untuk membatasi muslimah dalam bergerak dan bersikap, atau untuk mempersulit kehidupan seorang muslimah, akan tetapi sebagai gambaran kondisi yang mungkin terjadi jikalau seorang muslimah terlalu berlebihan dalam bersikap dan berpakaian. Kaidah mengantisipasi terjadinya kejahatan dengan memperhatikan segala sesuatu pada diri muslimah tersebut dalam fiqih Islam dikenal sebagai kaidah sa’adzud dzariah (menutup sarana kejahatan) yang berarti menyingkirkan semua sarana yang menunjang kekejian untuk meredam kekejian itu sendiri.

Berada di tengah pluralitas masyarakat dengan berbagai karakter dan perilaku memang bukanlah suatu hal yang mudah. Secara alamiah, setiap muslimah pasti akan dihadapkan pada dua sisi mata uang kehidupan. Baik dan jahat. Menyiapkan diri bukan berarti kita selalu dicekam prasangka yang terlalu ekstrim, namun bersikap arif dalam menyikapi realita sosial yang tengah bergejolak di sekitar kita. Bukankah salah satu tujuan diturunkannya syariat (maqoshidu as syariah) adalah untuk menjaga jiwa titipan Allah ini? Bersikap waspada bukan juga lantas menjadikan muslimah enggan untuk beraktivitas di jalan Allah dikarenakan rasa khawatir akan kemungkinan kejahatan yang mengintai. Keimanan yang harus terpatri dalam diri seiap muslimah adalah keimanan yang meyakini sepenuhnya akan takdir dan kuasa Allah SWT, sembari tak lupa mengkondisikan diri untuk tangguh menghadapi segala persoalan di dunia ini.

Kaidah untuk senantiasa menjaga diri pun bisa kita temui pada petuah-petuah Rasulullah SAW dalam hadits-haditsnya. Rasulullah bersbda :

“ Barangsiapa yang melihat kemungkaran di antara kalian, maka hendaklah dia mengubah dengan tangannya. Jika tidak sanggup, dengan lisan saja. Jika tidak sanggup juga, dengan hati saja, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.“ (HR. Muslim)

Hadits Rasulullah tersebut bukan saja dikonteksakan pada kewajiban melakukan usaha perbaikan dan perubahan masyarakat, akan tetapi juga digunakan dalam konteks menjaga dan membela diri dalam kondisi bahaya. Ketika ancaman kejahatan muncul di hadapan kita, maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah melawan dengan segenap kekuatan fisik yang kita miliki, dan jika kita tidak mampu melakukan dengan kekuatan fisik maka Rasulullah mencontohkan agar kita melakukan perlawanan psikologis dengan kekuatan lisan yang kita punya, dan jika hal itu pun kita tidak mampu melakukan maka tetaplah berusaha dengan lantunan doa penuh rasa khauf (takut) dan raja’(harap) kepada Allah SWT sang Pemilik Kehidupan. Satu hal yang perlu untuk dicermati, ternyata ada tingkatan penyikapan dalam menghadapi situasi bahaya tersebut sebagaimana yang telah diterangkan oleh Rasulullah. Hal pertama yang harus dan wajib dilakukan adalah berusaha maksimal melepaskan diri dari kondisi tersebut, meski hanya pada Allah saja kita kembalikan akhir kesudahan dari setiap usaha yang kita berikan tersebut. Dalam hadist beliau yang lain, dijelaskan tentang balasan Allah bagi siapa saja muslimin yang terbunuh dalam usahanya membela diri :

“Barangsiapa terbunuh karena membela agamanya, dia syahid, barangsiapa terbunuh karena membela hartanya, dia syahid, dan barangsiapa terbunuh karena membela keluarganya, dia syahid.“ (HR. Tirmidzi)

Dalam kaidah fiqih Islam, usaha maksimal membela jiwa, kehormatan, dan harta inilah yang disebut dengan daf’ush shail, yang hukum pelaksanaannya adalah wajib sedang meninggalkannya akan mendatangkan dosa. Daf’ush shail menurut Syaikh Abdullah Azzam adalah perlawanan atas kezaliman yang bermaksud merampas harta, merusak kehormatan atau menumpahkan darah. Secara lebih lugas lagi Rasulullah pernah menjelaskan tentang hal ini pada seorang sahabat yang mendatanginya :

Seseorang datang kepada Nabi SAW kemudian bertanya, “ Ya Rasulullah, apa pendapatmu jika ada orang hendak merampas hartaku?“ Beliau bersabda, “Jangan berikan hartamu.“ Dia bertanya lagi, “Bagaimana jika dia hendak membunuhku?“ Beliau menjawab, “Bunuh dia.“ Dia bertanya lagi, “Bagaimana bila ia berhasil membunuhku?“ Beliau menjawab, “Maka kamu syahid.“ Dia bertanya lagi, “Bagaimana bila aku berhasil membunuhnya?“ Jawab Beliau, “Dia masuk neraka.” (HR.Muslim)

Hukum tentang melakukan perlawanan itu sendiri memang ditafsirkan berbeda-beda oleh para ulama empat mahzab, antara lain :

1. Imam Malik dan hanafi berpendapat wajib hukumnya melawan

2. Imam Syafi’i berpendapat boleh menyerah bila penjahat beragama Islam dan wajib melawan bila dia seorang kafir

3. Imam Hambali berpendapat tidak wajib melawan baik penyerang muslim maupun kafir

Perkosaan, pelecehan, pembunuhan, bukanlah suatu hal yang muncul baru-baru saja. Dalam kisah-kisah para sahabat dapat dijumpai tentang berbagai cerita kejahatan yang menimpa para muslimah ketika itu. Kisah tentang seorang muslimah yang diperkosa saat ia hendak shalat shubuh di masjid, seorang muslimah yang dianiaya oleh wanita Yahudi, atau cerita tentang Asma’ Binti Abu Bakar yang diintrogasi dengan kekerasan oleh kaum Quraisy yang mencari ayahnya yang hijrah bersama Rasulullah. Di masa sekarang ini, berbagai kasus kejahatan tersebut nampaknya seolah tiada habisnya menimpa seorang muslimah. Menyadari hal tersebut, apakah muslimah masih saja tinggal diam dan tidak berusaha menyiapkan dirinya?

0 comments:

Template by:
Free Blog Templates